Sering kita jumpai pamflet atau
poster
yang menyampaikan informasi bahwa sebuah perusahaan membutuhkan seorang
desainer grafis, dengan persyaratan menguasai software-software grafis.
Dari sini muncul suatu pertanyaan, apakah seorang desainer grafis
adalah seorang yang ahli dan trampil menggunakan Corel Draw,
Adobe Photoshop,
Illustrator, InDesign, dan software grafis lainnya? Demikian juga
ketika kita mengunjungi toko buku, akan mudah kita jumpai buku-buku
tutorial software grafis yang tak jarang menjajikan jika membaca buku tersebut akan menjadi desainer handal, pertanyaan serupa pun muncul.
Fenomena mudahnya mengklaim diri sebagai desainer (grafis) membuat
beberapa akademisi desain gerah. Mereka yang sudah susah payah belajar
Nirmana, Tipografi,
Copy writing,
dan ilmu-ilmu lain yang dipelajari di Jurusan Desain Komunikasi Visual
(DKV) dengan serta merta disamakan dengan mereka yang hanya membaca buku
atau artikel internet yang berisi tutorial software grafis. Bahkan
beberapa secara blak-blakan menuduh desainer instan tersebut yang
membuat karya desain “serius” kurang dihargai (secara materi). Sumbo
Tinarbuko misalnya, dalam sebuah film pendek semi dokumenter menyebut
fenomena demokratisasi desain membuat DKV mati suri, hingga film
tersebut juga diberi judul “DKV Mati Suri”.
Kembali lagi ke pertanyaan awal, siapa sebenarnya seorang desainer grafis? Apakah cukup orang yang mahir menggunakan
software
grafis? Ataukah hanya para lulusan Jurusan DKV saja yang berhak
mengklaim diri sebagai seorang desainer? Bagi saya, terlalu arogan
rasanya jika klaim desainer dikapling hanya untuk para akademisi desain.
Ketika demokratisasi desain ditentang, bukankah yang muncul justru
otoritarianisme desain? Oleh karenanya, bagi saya siapapun berhak
mengklaim sebagai seorang desainer, tetapi ada tingkatan-tingkatan
desainer yang menurut saya terdiri dari empat tingkatan.
Tukang Setting
Istilah tukang setting sebenarnya bernada peyoratif, istilah ini sering
dilontarkan para akademisi desain untuk menyebut mereka yang hanya
mengerti software grafis. Tentu saja, mereka belajar desain grafis
secara otodidak, melalui buku maupun artikel internet yang memang saat
ini sangat banyak dan mudah ditemukan. Apalagi software-software grafis,
baik yang berbasis
vektor
maupun piksel juga sangat mudah didapatkan dan “gratis”. Tidak terlalu
sulit memang menguasai software grafis, pihak pengembang juga pastinya
berusaha memberi kemudahan bagi user.
Para tukang setting membuat karya desain dengan dasar rasa keindahan,
bukan dengan pengetahuan komposisi. Alhasil, kadang memang secara
visual
mereka mampu menyajikan karya yang bagus, tetapi tak jarang juga
menghasilkan karya yang membuat penonton mengabaikannya. Bagaimanapun,
pada level ini pun sudah dapat menjadi pekerjaan tersendiri, tentu saja
dengan upah yang pantas untuk kategori “tukang”.
Tukang Desain
Masih menggunakan kata tukang, tetapi satu tingkat di atas tukang
setting. Yang membedakan keduanya adalah, tukang desain telah menguasai
prinsip-prinsip penyusunan desain seperti keseimbangan, dominasi,
kesatuan, kesederhanaan, tipografi, dan lain-lain. Sehingga ia membuat
karya desain tidak hanya berdasar rasa, tetapi didukung dengan
pengetahuan. Mereka umumnya adalah orang yang belajar desain grafis
secara akademik, artinya mereka adalah para mahasiswa jurusan DKV. Lalu,
mengapa masih berpredikat tukang?
Persoalannya adalah, mereka puas dengan hal-hal teknis, baik dengan hand
drawing maupun digital. Mereka belum mampu melepaskan diri dari
kesenangan pada “yang kasatmata” atau aspek visual. Padahal, seperti
halnya perubahan nama Desain Grafis menjadi Desain Komunikasi Visual,
keahlian dan ketrampilan teknis hanyalah alat untuk memvisualisasikan
ide dan konsep. Artinya, tanpa kapasitas untuk menemukan ide cemerlang
dan memformulasikan konsep, yang terlahir justru karya Desain
Miskomunikasi Visual (meminjam istilah Sumbo Tinarbuko).
Komunikator Visual
Dalam ilmu komunikasi, istilah komunikator berarti pihak yang
menyampaikan pesan, sementara pihak yang menerima pesan disebut
komunikan. Komunikator visual berarti ia yang menyampaikan pesan dengan
media visual. Untuk menyampaikan pesan berarti ia harus memahami
karakter komunikan yang dituju, strategi komunikasi yang efektif, konsep
visual yang menarik bagi komunikan, dan hal-hal konseptual lainnya. Hal
ini mengingat DKV adalah sebuah kajian multi disiplin, mulai dari ilmu
komunikasi, seni rupa, manajemen pemasaran, hingga psikologi degunakan
untuk mengkonstruksi DKV.
Seorang komunikator visual yang baik juga dituntut mempunyai product
knowledge yang baik, termasuk memahami persoalan-persoalan kontemporer
jika ia hendak menciptakan suatu iklan layanan masyarakat. Artinya,
komunikator visual jelas harus mampu melampaui aspek teknis visual,
karena posisinya adalah sebagai seorang konseptor, bukan lagi seorang
tukang desain.
Ilmuwan Desain
Seperti halnya dalam beberapa ajaran relijius, orang-orang pada tingkat
tertinggi adalah mereka yang telah mampu melepaskan diri dari belenggu
nafsu duniawi. Demikian pula, desain (DKV) adalah seni rupa terapan,
artinya ia adalah kajian pragmatis. Namun, seorang desainer tingkat
“dewa” yang saya sebut sebagai ilmuwan desain, tidak lagi melihat DKV
hanya dalam tataran praktis, tetapi memandang DKV sebagai suatu ilmu
yang dinamis. Ia tidak lagi sibuk mengotak-atik strategi pemasaran suatu
produk, tetapi menghanyutkan diri ke dalam inti bumi DKV, yaitu DKV
sebagai ilmu. Pada level ini, makanan sehari-seharinya bukan lagi
nirmana atau tipografi, melainkan estetika, semiotika, dan setumpuk
teori-teori rumit lainnya.
Empat “
kasta” desainer di atas
jangan dipandang sebagai suatu teori yang sudah melewati verifikasi
panjang, sehingga dianggap sudah matang. Ini hanyalah hasil pemikiran
sebentar dan sederhana saja, yang merupakan respon saya atas “kegerahan”
para akademisi desain pada para desainer non-akademis. Jika ada
pendapat berbeda, sangat menyenangkan jika bisa kita diskusikan. Salam
kreatif!
Source : Inamul Haqqi Hasan, Jogja 3 November 2011 >>
http://sosbud.kompasiana.com