Minggu, 24 November 2013

Empat Kasta Desainer: Dari Tukang Setting Hingga Ilmuwan Desain

24.11.13 Posted by Unknown No comments
Sering kita jumpai pamflet atau poster yang menyampaikan informasi bahwa sebuah perusahaan membutuhkan seorang desainer grafis, dengan persyaratan menguasai software-software grafis. Dari sini muncul suatu pertanyaan, apakah seorang desainer grafis adalah seorang yang ahli dan trampil menggunakan Corel Draw, Adobe Photoshop, Illustrator, InDesign, dan software grafis lainnya? Demikian juga ketika kita mengunjungi toko buku, akan mudah kita jumpai buku-buku tutorial software grafis yang tak jarang menjajikan jika membaca buku tersebut akan menjadi desainer handal, pertanyaan serupa pun muncul.

Fenomena mudahnya mengklaim diri sebagai desainer (grafis) membuat beberapa akademisi desain gerah. Mereka yang sudah susah payah belajar Nirmana, Tipografi, Copy writing, dan ilmu-ilmu lain yang dipelajari di Jurusan Desain Komunikasi Visual (DKV) dengan serta merta disamakan dengan mereka yang hanya membaca buku atau artikel internet yang berisi tutorial software grafis. Bahkan beberapa secara blak-blakan menuduh desainer instan tersebut yang membuat karya desain “serius” kurang dihargai (secara materi). Sumbo Tinarbuko misalnya, dalam sebuah film pendek semi dokumenter menyebut fenomena demokratisasi desain membuat DKV mati suri, hingga film tersebut juga diberi judul “DKV Mati Suri”.

Kembali lagi ke pertanyaan awal, siapa sebenarnya seorang desainer grafis? Apakah cukup orang yang mahir menggunakan software grafis? Ataukah hanya para lulusan Jurusan DKV saja yang berhak mengklaim diri sebagai seorang desainer? Bagi saya, terlalu arogan rasanya jika klaim desainer dikapling hanya untuk para akademisi desain. Ketika demokratisasi desain ditentang, bukankah yang muncul justru otoritarianisme desain? Oleh karenanya, bagi saya siapapun berhak mengklaim sebagai seorang desainer, tetapi ada tingkatan-tingkatan desainer yang menurut saya terdiri dari empat tingkatan.

Tukang Setting
Istilah tukang setting sebenarnya bernada peyoratif, istilah ini sering dilontarkan para akademisi desain untuk menyebut mereka yang hanya mengerti software grafis. Tentu saja, mereka belajar desain grafis secara otodidak, melalui buku maupun artikel internet yang memang saat ini sangat banyak dan mudah ditemukan. Apalagi software-software grafis, baik yang berbasis vektor maupun piksel juga sangat mudah didapatkan dan “gratis”. Tidak terlalu sulit memang menguasai software grafis, pihak pengembang juga pastinya berusaha memberi kemudahan bagi user.

Para tukang setting membuat karya desain dengan dasar rasa keindahan, bukan dengan pengetahuan komposisi. Alhasil, kadang memang secara visual mereka mampu menyajikan karya yang bagus, tetapi tak jarang juga menghasilkan karya yang membuat penonton mengabaikannya. Bagaimanapun, pada level ini pun sudah dapat menjadi pekerjaan tersendiri, tentu saja dengan upah yang pantas untuk kategori “tukang”.

Tukang Desain
Masih menggunakan kata tukang, tetapi satu tingkat di atas tukang setting. Yang membedakan keduanya adalah, tukang desain telah menguasai prinsip-prinsip penyusunan desain seperti keseimbangan, dominasi, kesatuan, kesederhanaan, tipografi, dan lain-lain. Sehingga ia membuat karya desain tidak hanya berdasar rasa, tetapi didukung dengan pengetahuan. Mereka umumnya adalah orang yang belajar desain grafis secara akademik, artinya mereka adalah para mahasiswa jurusan DKV. Lalu, mengapa masih berpredikat tukang?

Persoalannya adalah, mereka puas dengan hal-hal teknis, baik dengan hand drawing maupun digital. Mereka belum mampu melepaskan diri dari kesenangan pada “yang kasatmata” atau aspek visual. Padahal, seperti halnya perubahan nama Desain Grafis menjadi Desain Komunikasi Visual, keahlian dan ketrampilan teknis hanyalah alat untuk memvisualisasikan ide dan konsep. Artinya, tanpa kapasitas untuk menemukan ide cemerlang dan memformulasikan konsep, yang terlahir justru karya Desain Miskomunikasi Visual (meminjam istilah Sumbo Tinarbuko).

Komunikator Visual
Dalam ilmu komunikasi, istilah komunikator berarti pihak yang menyampaikan pesan, sementara pihak yang menerima pesan disebut komunikan. Komunikator visual berarti ia yang menyampaikan pesan dengan media visual. Untuk menyampaikan pesan berarti ia harus memahami karakter komunikan yang dituju, strategi komunikasi yang efektif, konsep visual yang menarik bagi komunikan, dan hal-hal konseptual lainnya. Hal ini mengingat DKV adalah sebuah kajian multi disiplin, mulai dari ilmu komunikasi, seni rupa, manajemen pemasaran, hingga psikologi degunakan untuk mengkonstruksi DKV.

Seorang komunikator visual yang baik juga dituntut mempunyai product knowledge yang baik, termasuk memahami persoalan-persoalan kontemporer jika ia hendak menciptakan suatu iklan layanan masyarakat. Artinya, komunikator visual jelas harus mampu melampaui aspek teknis visual, karena posisinya adalah sebagai seorang konseptor, bukan lagi seorang tukang desain.

Ilmuwan Desain
Seperti halnya dalam beberapa ajaran relijius, orang-orang pada tingkat tertinggi adalah mereka yang telah mampu melepaskan diri dari belenggu nafsu duniawi. Demikian pula, desain (DKV) adalah seni rupa terapan, artinya ia adalah kajian pragmatis. Namun, seorang desainer tingkat “dewa” yang saya sebut sebagai ilmuwan desain, tidak lagi melihat DKV hanya dalam tataran praktis, tetapi memandang DKV sebagai suatu ilmu yang dinamis. Ia tidak lagi sibuk mengotak-atik strategi pemasaran suatu produk, tetapi menghanyutkan diri ke dalam inti bumi DKV, yaitu DKV sebagai ilmu. Pada level ini, makanan sehari-seharinya bukan lagi nirmana atau tipografi, melainkan estetika, semiotika, dan setumpuk teori-teori rumit lainnya.

Empat “kasta” desainer di atas jangan dipandang sebagai suatu teori yang sudah melewati verifikasi panjang, sehingga dianggap sudah matang. Ini hanyalah hasil pemikiran sebentar dan sederhana saja, yang merupakan respon saya atas “kegerahan” para akademisi desain pada para desainer non-akademis. Jika ada pendapat berbeda, sangat menyenangkan jika bisa kita diskusikan. Salam kreatif!

Source : Inamul Haqqi Hasan, Jogja 3 November 2011 >> http://sosbud.kompasiana.com


0 komentar:

Posting Komentar

Isi Komentar Disini !!!